Senin, 11 Juni 2012


Wajah Ironis Pendidikan
“ Pendidikan sama dengan Mie ”

Apa maksud dari pernyataan di atas? Pendidikan kok disamakan dengan makanan. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Lalu dimana letak persamaannya? Untuk menjawabnya mari kita bersama-sama melihat realita yang ada sekarang. Kondisi dunia pendidikan yang ada di Indonesia sangatlah mengenaskan, sampai-sampai disamakan dengan mie.
Mie yang merupakan jenis makanan instan kini menemukan saudaranya yaitu “ pendidikan instan“ disinilah letak persamaannya antara pendidikan dan mie sama-sama instan. Pendidikan instan banyak dijumpai di Indonesia, di kota-kota besar bahkan didesapun sudah merajalela. Pendidikan yang diperoleh hanya dengan waktu yang singkat. Ibarat mie cukup sekali sedu tidak sampai lima menit sudah siap dimakan. Sama dengan pendidikan sekarang untuk mendapatkan ijazah banyak mahasiswa memilih mengikuti semester pendek dengan tujuan kuliahnya cepat selesai dan cepat memperoleh pekerjaan. Bahkan ada yang memilih untuk membeli ijazah dengan harga yang relative murah dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk kuliah. Selain itu mereka tidak mau melewati suatu proses yang panjang, melelahkan, menuntut ketekunan, kesabaran, kerja keras, apalagi perjuangan.
Kecenderungan serba instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai produk dan kurang menghargai prose situ, dari hari ke hari semakin kuat. Istilah “instan” yang semula hanya dikenal dalam makanan ataupun minuman, secara tiba-tiba menyeruak masuk menjadi kosakata ke dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan mahasiswa. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, mahasiswa inginnya sekali seduh langsung jadi atau langsung dapat. Padahal, kenyataannya ilmu pengetahuan tidak seperti mie yang sekali sedu h langsung dapat dinikmati.
Dalam dunia mahasiswa istilah SKS (Sistem Kebut Semalam) bukanlah hal yang tabu. Ketika ada tugas ataupun akan ujian mereka memilih untuk belajar semalaman suntuk tetapi setelah itu tidak belajar lagi, dari pada harus menyiapkannya jauh-jauh hari sebelum ujian. Tidak mengherankan jika indeks prestasi mahasiswa tersebut menjadi  bagus, tapi penguasaan ilmu pengetahuan dalam bidangnya tidak sesuai dengan tingginya nilai indeks prestasi. Hal itu disebabkan karena system belajar SKS.
Secara Filosofis, tidak ada perbedaan antara belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) dengan program semerter pendek di PTN dan PTS. Keduannya instan dan menempatkan pengetahuan semata-mata sebagai produk, bukan sebagai proses. Bahkan pengetahuan tidak hanya ditempatkan sebagai produk, akan tetapi hanya sebagai instrumen, yaitu instrumen mencari gelar atau pekerjaan. Tujuan akhir yang ingin dicapai melalui program semester pendek itu bukan penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan selembar ijazah untuk bekal mencari kerja yang menghasilkan uang. Jadi, belajar disini sangat instrumentalis.
Belajar yang hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai, status, ijazah, atau gelar sebenarnya mereduksi makna belajar itu sendidri. Disana, ada siklus yang dipotong. Kalau nilai, status, ijazah dan gelar bisa didapatkan dalam waktu singkat, misalnya satu-dua bulan, tidak harus bercapek-capek dan berlama-lama, mengapa harus menunggu satu semester? Kalau dalam waktu pendek saja dapat meraih semua mengapa harus diperpanjang? Itulah cara berpikir pragmatis dan reduksionis. Orang beranggapan bahwa kuliah itu sekedar untuk mendapatkan ijazah dan gelar saja. Oleh sebab itu, tak jarang di antara mereka banyak memanfaatkan biro jasa pembuatan karya tulis, skripsi, atau tesis yang menawarkan harga relatif murah. Menjamurnya institusi-institusi yang menawarkan gelar hanya dengan harga 3-5 juta tidak terlepas dari kecenderungan masyarakat berpikir instan.
Sebagai program yang lahir dari pandangan pragmatis dan reduksionis, program semester pendek tidak akan menciptakan mutu pendidikan yang baikdi negeri ini. Sebaliknya, justru akan memerosokkan sistem pendidikan ke jurang kehancuran. Sebab, semester panjang yang memakai proses cukup panjang dn melewati tahapan demi tahapan saja kurang bermutu, apalagi semester pendek?. Disisi lain proses pembelajaran dalam semester pendek itu pasti tergesa-gesa, karena pelajaran yang seaharusnya diselesaikan dalam waktu enam bulan harus selesai dalam waktu 2 bulan. Akibatnya, dosenpun cara memberikannya serampangan, sedangkan mahasiswa menerimanya juga sepintas saja tanpa ada pengendapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar