Wajah Ironis
Pendidikan
“ Pendidikan sama
dengan Mie ”
Apa
maksud dari pernyataan di atas? Pendidikan kok disamakan dengan makanan. Tapi
memang kenyataannya seperti itu. Lalu dimana letak persamaannya? Untuk
menjawabnya mari kita bersama-sama melihat realita yang ada sekarang. Kondisi
dunia pendidikan yang ada di Indonesia sangatlah mengenaskan, sampai-sampai
disamakan dengan mie.
Mie
yang merupakan jenis makanan instan kini menemukan saudaranya yaitu “
pendidikan instan“ disinilah letak persamaannya antara pendidikan dan mie
sama-sama instan. Pendidikan instan banyak dijumpai di Indonesia, di kota-kota
besar bahkan didesapun sudah merajalela. Pendidikan yang diperoleh hanya dengan
waktu yang singkat. Ibarat mie cukup sekali sedu tidak sampai lima menit sudah
siap dimakan. Sama dengan pendidikan sekarang untuk mendapatkan ijazah banyak
mahasiswa memilih mengikuti semester pendek dengan tujuan kuliahnya cepat
selesai dan cepat memperoleh pekerjaan. Bahkan ada yang memilih untuk membeli
ijazah dengan harga yang relative murah dibandingkan biaya yang harus
dikeluarkan untuk kuliah. Selain itu mereka tidak mau melewati suatu proses
yang panjang, melelahkan, menuntut ketekunan, kesabaran, kerja keras, apalagi
perjuangan.
Kecenderungan
serba instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus memperlakukan ilmu
pengetahuan sebagai produk dan kurang menghargai prose situ, dari hari ke hari
semakin kuat. Istilah “instan” yang semula hanya dikenal dalam makanan ataupun
minuman, secara tiba-tiba menyeruak masuk menjadi kosakata ke dalam segala
aspek kehidupan, termasuk kehidupan mahasiswa. Dalam memperoleh ilmu
pengetahuan, mahasiswa inginnya sekali seduh langsung jadi atau langsung dapat.
Padahal, kenyataannya ilmu pengetahuan tidak seperti mie yang sekali sedu h
langsung dapat dinikmati.
Dalam
dunia mahasiswa istilah SKS (Sistem Kebut Semalam) bukanlah hal yang tabu.
Ketika ada tugas ataupun akan ujian mereka memilih untuk belajar semalaman
suntuk tetapi setelah itu tidak belajar lagi, dari pada harus menyiapkannya
jauh-jauh hari sebelum ujian. Tidak mengherankan jika indeks prestasi mahasiswa
tersebut menjadi bagus, tapi penguasaan
ilmu pengetahuan dalam bidangnya tidak sesuai dengan tingginya nilai indeks
prestasi. Hal itu disebabkan karena system belajar SKS.
Secara
Filosofis, tidak ada perbedaan antara belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) dengan
program semerter pendek di PTN dan PTS. Keduannya instan dan menempatkan
pengetahuan semata-mata sebagai produk, bukan sebagai proses. Bahkan
pengetahuan tidak hanya ditempatkan sebagai produk, akan tetapi hanya sebagai
instrumen, yaitu instrumen mencari gelar atau pekerjaan. Tujuan akhir yang
ingin dicapai melalui program semester pendek itu bukan penguasaan ilmu
pengetahuan, melainkan selembar ijazah untuk bekal mencari kerja yang
menghasilkan uang. Jadi, belajar disini sangat instrumentalis.
Belajar
yang hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai, status, ijazah, atau gelar
sebenarnya mereduksi makna belajar itu sendidri. Disana, ada siklus yang
dipotong. Kalau nilai, status, ijazah dan gelar bisa didapatkan dalam waktu
singkat, misalnya satu-dua bulan, tidak harus bercapek-capek dan berlama-lama,
mengapa harus menunggu satu semester? Kalau dalam waktu pendek saja dapat
meraih semua mengapa harus diperpanjang? Itulah cara berpikir pragmatis dan
reduksionis. Orang beranggapan bahwa kuliah itu sekedar untuk mendapatkan
ijazah dan gelar saja. Oleh sebab itu, tak jarang di antara mereka banyak
memanfaatkan biro jasa pembuatan karya tulis, skripsi, atau tesis yang
menawarkan harga relatif murah. Menjamurnya institusi-institusi yang menawarkan
gelar hanya dengan harga 3-5 juta tidak terlepas dari kecenderungan masyarakat
berpikir instan.
Sebagai
program yang lahir dari pandangan pragmatis dan reduksionis, program semester
pendek tidak akan menciptakan mutu pendidikan yang baikdi negeri ini.
Sebaliknya, justru akan memerosokkan sistem pendidikan ke jurang kehancuran.
Sebab, semester panjang yang memakai proses cukup panjang dn melewati tahapan
demi tahapan saja kurang bermutu, apalagi semester pendek?. Disisi lain proses
pembelajaran dalam semester pendek itu pasti tergesa-gesa, karena pelajaran
yang seaharusnya diselesaikan dalam waktu enam bulan harus selesai dalam waktu
2 bulan. Akibatnya, dosenpun cara memberikannya serampangan, sedangkan
mahasiswa menerimanya juga sepintas saja tanpa ada pengendapan.